Selasa, 01 Oktober 2013

Gaharu merupakan komoditi elit hasil hutan bukan kayu yang saat ini banyak diminati oleh konsumen baik dalam maupun luar negeri. Pemanfaatan gaharu sangat bervariasi dari bahan baku pembuatan dupa, parfum, aroma terapi, sabun, body lotion, hingga bahan obat-obatan sebagai anti asmatik, anti mikrobia, stimulan kerja syaraf, dan pencernaan. Akibat dari pola pemanenan dan perdagangan yang masih mengandalkan alam, beberapa jenis tertentu pohon penghasil gaharu mulai langka dan telah masuk dalam appendix II CITES.  
Mengantisipasi kemungkinan pubahnya pohon penghasil gaharu jenis-jenis langka sekaligus pemanfaatannya secara lestari. Badan Litbang Kehutanan melakukan upaya konservasi dan budidaya serta rekayasa untuk mempercepat produksi gaharu dengan teknologi induksi atau inokulasi.  
Serangkaian penelitian yang dilakukan Badan Litbang Kehutanan saat ini telah menghasilkan teknik budidaya pohon penghasil gaharu dengan baik, mulai dari perbenihan, persemaian, penanaman, hingga pemeliharaannya. Sejumlah isolat jamur pembentuk gaharu hasil eksplorasi dari berbagai daerah di Indonesia telah teridentifikasi berdasar ciri morfologis. Penelitian yang dilakukan juga telah menghasilkan empat isolat jamur pembentuk gaharu yang telah teruji dan mampu membentuk infeksi gaharu dengan cepat. Inokulasi menggunakan isolat jamur tersebut telah menunjukkan tanda-tanda keberhasilan hanya dalam waktu satu bulan. Ujicoba telah dilakukan di Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Jawa Barat (Sukabumi dan Darmaga), dan Banten (Carita).  
Secara teknis, garis besar tahapan rekayasa produksi gaharu dimulai dengan isolasi jamur pembentuk yang diambil dari pohon penghasil gaharu sesuai jenis dan ekologi sebaran tumbuh pohon yang dibudidayakan. Isolat tersebut kemudian diidentifikasi berdasar taksonomi dan morfologi lalu dilakukan proses skrining untuk memastikan bahwa jamur yang memberikan respon pembentukan gaharu sesuai dengan jenis pohon penghasil gaharu agar memberikan hasil optimal. Tahap selanjutnya adalah perbanyakan jamur pembentuk gaharu tadi, kemudian induksi, dan terakhir pemanenan. Untuk saat ini, produksi gaharu buatan yang dipanen pada umur 1 tahun berada pada kelas kemedangan dengan harga jual US$ 100 per kilogram.  
Di pasaran dalam negeri, kualitas gaharu dikelompokkan menjadi 6 kelas mutu, yaitu Super (Super King, Super, Super AB), Tanggung, Kacangan (Kacangan A, B, dan C), Teri (Teri A, B, C, Teri Kulit A, B), Kemedangan (A, B, C) dan Suloan. Klasifikasi mutu tersebut berbeda dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang membagi mutu gaharu menjadi 3 yaitu Klas Gubal, Kemedangan, dan Klas Abu. Perbedaan klasifikasi tersebut sering merugikan pencari gaharu karena tidak didasari dengan kriteria yang jelas.  


 

Pohon gaharu yang dikenal dengan sebutan “hau alim” di Tapanuli, Aceh, dan Sumatra Barat ternyata ditemukan tumbuh alamiah di Tapanuli Utara seperti kecamatan luat Pahae, Adian Koting, Parmonangan dll. Hau Alim yang menghasilkan produk kayu gaharu bernilai ekonomi tinggi ini (Rp.30 juta/Kg, kualitas super) telah tumbuh sejak ratusan tahun lalu (Hou 1960), karena pada masa hidup para ompu sijolo tubu, hau alim telah lazim digunakan sebagai obat tradisional yang ampuh seperti, obat ibu-ibu yang habis melahirkan (vitalitas), cacar, malaria, sakit perut, anti bisa digigit ular dan serangga berbisa, paru-paru, asma, dan untuk ritual kepercayaan untuk memuliakan “Mulajadi Nabolon”.

Hasil pengamatan terkini melalui acara “Pelatihan Petani dan Pemuda Tani se Tapanuli Utara pada tgl 22 Agusrtus – 12 September 2009 membuktikan bahwa ratusan pohon gaharu yang masuk marga Aquilari., famili Thymelaeaceae tersebut tumbuh alamiah dan bercampur di kebun-kebun karet milik rakyat.

Hau Alim merupakan pohon yang sangat khusus dan penuh spiritual bagi seluruh agama di dunia ini. Kitab injil kristen memuat beberapa ayat yang memuat kesakralan penggunaan gaharu. Bilangan 24; 6 tertulis Bagaikan Pohon Gaharu Yang ditanam Tuhan, Johannes 19: 39: Nicodemus membawa gaharu untuk meminyaki tubuh Yesus. Bahkan tersiar kabar bahwa, minyak gaharu yang digunakan meminyaki kaki Yesus saat disalibkan berasal dari Barus. Dan masih banyak lagi ayat yang memuat keharuman dupa gaharu tertera dalam kitab-kitab suci Alkitab dan Al’Quran. Agama Budha, dan Hindu menggunakan bahan gaharu sebagai hio untuk ritual keagamaan. Masyarakat Islam, khususnya bangsa-bangsa di Timur Tengah menggunakan minyak gaharu untuk meminyaki batu Azwal aswat yang berada di tengah kabah. Namun di kristen, hanya umat katholik yang menggunakan dupa gaharu dalam upacara keagamaan.

Masalah utama yang terjadi adalah masyarakat Tapanuli Utara (TAPUT), tidak mengenal pohon gaharu, kegunaan dan tingginya nilai ekonomi gaharu tersebut. Namun pohon tersebut tetap dibiarkan tumbuh liar di kebun karet dan hutan rakyat lainnya. Selama ini, pohon gaharu hanya dimanfaatkan sebagai kayu bakar atau kulitnya dijual untuk digunakan sebagai bahan buku “laklak” atau direbus sebagai racun untuk menuba ikan di sungai. Oleh sebab itu pohon gaharu di Pahae, populer dengan sebutan “laklak tuba” (komunikasi pribadi dengan Gamaludin Tambunan, Putra Pahae). Sejak ratusan tahun yang lalu, pohon gaharu dibiarkan dipanen secara gratis oleh pemburu gaharu yang umumnya datang dari Tapanuli Selatan. Sangat ironis, karena masyarakat Pahae tidak mengetahui informasi tentang manfaat dan nilai ekonomis gaharu yang sangat tinggi.

Gaharu adalah hasil hutan non-kayu yang di ekspor. Pada perdagangan internasional gaharu populer dengan sebutan agarwood, aloe wood, dan eagle wood, oud (Timur tengah), dan Cing (Cina). Gaharu memiliki nilai ekonomi sangat tinggi, sehingga berperan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang hidup di sekitar hutan (tombak) serta sumber pendapatan devisa Negara. Harga per kg gaharu mutu super dapat mencapai sekitar Rp.30 juta/kg, sedangkan harga minyak gaharu mencapai US$ 100 per tola/sekitar 11.8 ml (ASGARIN, 2009).

Yamada (1995) memperkirakan sebanyak 2000 ton/tahun gaharu asal Indonesia memenuhi pusat perdagangan gaharu dunia di Singapura. Yamada juga menjelaskan bahwa dari seluruh gaharu yang diperdagangkan di dunia, sebanyak 70% berasal dari Indonesia dan sisanya 30% dari negara-negara Asia Selatan lainnya. Namun sejak satu dekade terakhir jumlah eksport gaharu dari Indonesia serta negara-negara penghasil gaharu lainnya sudah tidak mencukupi permintaan pasar dunia. Bahkan quota yang ditetapkan terhadap Indonesia dalam konferensi CITES II di Florida pada tahun 1994 sebanyak 250 ton per tahun tidak tercapai lagi. Bahkan pada tahun 2005, Indonesia hanya diberi kuota sebesar 125 ton/tahun.

Eksploitasi gaharu yang disertai pembalakan hutan alam untuk tujuan industri di wilayah Indonesia yang lain telah mengurangi luasan areal hutan alam, kelangkaan pohon gaharu, dan hilangnya pohon (genotipe) unggul. Kelangkaan ini menyebabkan gaharu masuk kedalam IUCN Red List sejak tahun 1995 dan gaharu ditempatkan dalam CITES appendix II. Agar ekspor dapat sinambung dan perdagangannya tidak diatur dalam batasan quota, Indonesia perlu mengupayakan pengembangan pohon gaharu melalui usaha budidaya.
Tingginya harga gaharu ini disebabkan karena gaharu khususnya kualitas atas (Super, AB, BC) merupakan kebutuhan pokok baik untuk acara ritual ke agamaan maupun untuk wangi-wangian di negara-negara Timur Tengah. Sebesar 90% ekspor gaharu ditujukan ke negara- negara di Timur Tengah sedangkan untuk kelas menengah kebawah kenegara-negara Asia seperti Taiwan, Cina, Korea, dan Jepang, yang digunakan untuk produksi minyak dan acara -acara ritual dalam bentuk Hio (ASGARIN, 2005). Perdagangan dan pemanfaatan gaharu lainnya berdasarkan data ekspor adalah untuk bahan baku industri kosmetika seperti parfum, minyak, sabun, lotions, pembersih muka serta obat-obatan seperti obat sakit perut, rhematik, malaria, asma, TBC, kanker, tonikum, dan aroma terapi. 

Di Tapanuli Utara, pohon gaharu yang diidentifikasi sebagai A. malaccensis dan A. microcarpa ditemukan tumbuh alami dan bercampur di kebun karet milik rakyat. Faktor ini merupakan modal dasar bagi masyarakat Tapanuli Utara untuk pengembangan budidaya gaharu, produksi gaharu dan industri minyak gaharu serta komoditi lainnya berbahan baku gaharu. Minyak gaharu dikenal sebagai bahan baku industri parfum berkualitas tertinggi di dunia. Sedangkan serbuk kayu, limbah hasil penyulingan minyak gaharu digunakan untuk industri hio, makmul dan lain-lain. Daun gaharu sendiri memiliki khasiat obat, sehingga dapat digunakan untuk pengembangan industri teh daun gaharu.
Upaya percepatan pengembangan kabupaten Tapanuli Utara, propinsi Sumatra Utara menjadi sentra produksi gaharu asal Aquilaria malacensis, dan A. microcarpa memerlukan bantuan dana, teknis dan keahlian. Keahlian gaharu dan produksinya dimiliki perguruan tinggi diantaranya SEAMEO BIOTROP, LP3M IPB. Kerjasama antara masyarakat Tapanuli Utara dan SEAMEO BIOTROP serta didukung pemerintah daerah dan perguruan tinggi setempat merupakan alternatif strategis yang perlu diimplementasikan sebagai langkah awal untuk mencapai tujuan menjadikan Tapanuli Utara sebagai salah satu sentra produksi gaharu. 

Kerjasama meliputi implementasi teknologi produksi gaharu melalui teknik inokulasi pada pohon-pohon gaharu milik rakyat, pengadaan bibit dan pengembangan budidaya gaharu, serta industri penyulingan minyak gaharu. Beberapa industri lanjutan lainnya yang dapat diusahakan secara home industry adalah industri parfum, hio, makmul, teh gaharu dan lain-lain.
Kantor Badan Penyuluh (BP4K) yang di pimpin Ir. Bloner Nainggolan telah melakukan alih teknologi melalui Sosialisasi dan pelatihan gaharu kepada petani dan pemuda tani yang berasal dari seluruh desa di 15 kecamatan di Taput pada tgl. 22 Agustus – 12 September 2009 yl. Animo dan rasa ketertarikan masyarakat terlihat tinggi dengan telah mulai dibentuknya “Kelompok Petani Gaharu Tapanuli Utara”.
Semoga ibukota TAPUT, Tarutung, kota yang rohani makin penuh berkah dan spiritual melalui limpahan gaharu di masa datang.


Drs. Jonner Situmorang M.Si.
Peneliti gaharu SEAMEO BIOTROP.

POHON GAHARU
GAHARU merupakan tanaman yang mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi, sehingga sangat tepat apabila dikembangkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat IndonesiaHampir semua bagian pohon gaharu ini dapat dimanfaatkan untuk bahan baku produk, praktis tidak ada bagian yang terbuang.

Kayu gaharu yang terinfeksi atau disebut gubal mempunyai nilai jual yang sangat tinggi, sementara gubal gaharu kualitas rendah dapat disuling untuk produksi minyak dengan harga yang sangat menjanjikan. Daun gaharu dapat dimanfaatkan untuk pembuatan teh gaharu. Turunan produk gaharu pun semakin hari semakin meningkat variasinya, menempatkan pohon gaharu sebagai pohon industri.

Manfaat gaharu diantaranya adalah pewangi rungan, bahan baku industri parfum ekslusif, bahan baku industri kosmetika, bahan baku untuk bahan obat (kanker, asmatik, perangsang, dll), bahan HIO (untuk ritual agama hindu, budha dan Kong Hu Chu), bahan Kohdoh (jepang), serta daunnya dimanfaatkan untuk teh hijau (agarwood tea). Harga gubal gaharu bervariasi tergantung grade(kualitas), harga gubal gaharu grade super di pasar lokal mencapai Rp 25 jt/kg, sedangkan harga terendah Rp 50 ribu/kg untuk kayu gaharu yang tidak mengandung resin sama sekali.

Negara potensial pemakai gaharu (pengimpor) adalah Saudi Arabia, Kuwait Yaman, United Emirat, Turki, Singapura, Jepang, dan Amerika. Kebutuhan gaharu dari tahun ke tahun terus meningkat berbanding lurus dengan harganya. Sementara stok gaharu alam semakin menurun akibat ditebang terus-menerus tanpa diimbangi penanaman. Kebutuhan gaharu dunia terus meningkat sehubungan dengan semakin meningkatnya pemanfaatan gaharu terutama untuk obat-obatan di China. Kebutuhan obat merupakan kebutuhan pokok umat manusia, yang keberadaanya sangat dibutuhkan manusia.

Indonesia merupakan salah satu Negara penghasil gaharu terbesar di dunia, namun saat ini potensinya menurun, bahkan gaharu sudah menjadi jenis yang langka ditemukan. Beberapa jenis pohon penghasil gaharu sebagian besar termasuk dalam famili Themeleaceae, terutama dari genus Aquilaria dan Gyrinops, yang dapat menghasilkan gubal gaharu dengan kualitas terbaik (harga tinggi). Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam penanaman gaharu diperlukan pengetahuan yang memadai dalam bidang silvikultur (teknik budidaya) dan teknologi untuk mempercepat mendapatkan gubal gaharu (inokulasi). Tanpa mengetahui kedua masalah tersebut diatas, rasanya sulit untuk mendapatkan hasil gaharu yang memuaskan. Perlu diketahui bahwa tidak semua pohon gaharu menghasilkan gubal gaharu, hanya pohon yang terinfeksi cendawan tertentu saja yang dapat menghasilkan gubal gaharu. Sehingga secara alami pohon gaharu yang dapat menghasilkan gubal, prosentasenya sangat kecil, Oleh karena itu diperlukan teknologi inokulasi untuk mempercepat terbentuknya gubal gaharu. Ayo lestarikan hutan Indonesia demi generasi mendatang.

Apa itu agarwood (gaharu)?

Gaharu adalah sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, memiliki kandungan damar wangi, berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, sebagai akibat dari proses infeksi yang terjadi secara alami atau buatan pada pohon Aguilaria sp (Thymelaeaceae).

Harga 1 Batang Pohon Agarwood bisa mencapai beberapa ribu dollar USD per kilogram, makanya Pohon Ini disebut sebagai “POHON YANG SANGAT MAHAL DI DUNIA – ”MOST EXPENSIVE TREES IN THE WORLD

Setelah Penyulingan Harga Minyak Gaharu Bisa Mencapai Sekitar USD 5,000 ~ USD 10,000/kg dan Setelah Dibuat Menjadi Cairan Extract Harganya Mampu Mencapai Lebih Dari USD 30,000 atau Rp. 300.000.000,- / Liter.  
Manfaat Agarwood
  1. Aktivitas Kebudayaan - Islam, Budha, Hindu
  2. Perayaan Keagamaan - Kebanyakan di Negara Islam dan Arab
  3. Wangi Parfum - Wanginya Tahan Lama Banyak Diminati di Negara Eropa Seperti Daerah Yves Saint Laurent, Zeenat dan Amourage
  4. Aroma Terapi - Menyegarkan Tubuh, Perayaan dan Undangan
  5. Kecantikan - Sabun, Shampo Yang Harum Semerbak
  6. Obat & Kesehatan - Biasa Digunakan di Pengobatan Tradisional Khususnya Dinegara China dan Jepang
  7. Koleksi Pribadi - Untuk Ruangan Besar Khusus Eksklusif
Kebutuhan Agarwood DuniaKebutuhan dunia akan agarwood atau gaharu terus meningkat. Menurut statistik, Indonesia yang pada tahun 1995 menjadi pengexport gaharu yang cukup besar, kini nilai exportnya semakin menurun.

Mengingat permintaan dunia akan agarwood yang terus meningkat, maka proyek Pengembangan Agarwood sangat menguntungkan "Investment for Highest Profit"


MEMPERCEPAT PRODUKSI GAHARU DENGAN TEKNOLOGI INOKULASI
Gaharu merupakan komoditi elit hasil hutan bukan kayu yang saat ini banyak diminati oleh konsumen baik dalam maupun luar negeri. Pemanfaatan gaharu sangat bervariasi dari bahan baku pembuatan dupa, parfum, aroma terapi, sabun, body lotion, hingga bahan obat-obatan sebagai anti asmatik, anti mikrobia, stimulan kerja syaraf, dan pencernaan. Akibat dari pola pemanenan dan perdagangan yang masih mengandalkan alam, beberapa jenis tertentu pohon penghasil gaharu mulai langka dan telah masuk dalam appendix II CITES.

Mengantisipasi kemungkinan pubahnya pohon penghasil gaharu jenis-jenis langka sekaligus pemanfaatannya secara lestari. Badan Litbang Kehutanan melakukan upaya konservasi dan budidaya serta rekayasa untuk mempercepat produksi gaharu dengan teknologi induksi atau inokulasi.

Serangkaian penelitian yang dilakukan Badan Litbang Kehutanan saat ini telah menghasilkan teknik budidaya pohon penghasil gaharu dengan baik, mulai dari perbenihan, persemaian, penanaman, hingga pemeliharaannya. Sejumlah isolat jamur pembentuk gaharu hasil eksplorasi dari berbagai daerah di Indonesia telah teridentifikasi berdasar ciri morfologis. Penelitian yang dilakukan juga telah menghasilkan empat isolat jamur pembentuk gaharu yang telah teruji dan mampu membentuk infeksi gaharu dengan cepat. Inokulasi menggunakan isolat jamur tersebut telah menunjukkan tanda-tanda keberhasilan hanya dalam waktu satu bulan. Ujicoba telah dilakukan di Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Jawa Barat (Sukabumi dan Darmaga), dan Banten (Carita).

Secara teknis, garis besar tahapan rekayasa produksi gaharu dimulai dengan isolasi jamur pembentuk yang diambil dari pohon penghasil gaharu sesuai jenis dan ekologi sebaran tumbuh pohon yang dibudidayakan. Isolat tersebut kemudian diidentifikasi berdasar taksonomi dan morfologi lalu dilakukan proses skrining untuk memastikan bahwa jamur yang memberikan respon pembentukan gaharu sesuai dengan jenis pohon penghasil gaharu agar memberikan hasil optimal. Tahap selanjutnya adalah perbanyakan jamur pembentuk gaharu tadi, kemudian induksi, dan terakhir pemanenan. Untuk saat ini, produksi gaharu buatan yang dipanen pada umur 1 tahun berada pada kelas kemedangan dengan harga jual US$ 100 per kilogram.

Di pasaran dalam negeri, kualitas gaharu dikelompokkan menjadi 6 kelas mutu, yaitu Super (Super King, Super, Super AB), Tanggung, Kacangan (Kacangan A, B, dan C), Teri (Teri A, B, C, Teri Kulit A, B), Kemedangan (A, B, C) dan Suloan. Klasifikasi mutu tersebut berbeda dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang membagi mutu gaharu menjadi 3 yaitu Klas Gubal, Kemedangan, dan Klas Abu. Perbedaan klasifikasi tersebut sering merugikan pencari gaharu karena tidak didasari dengan kriteria yang jelas.